Makna Berkurban
Makna
Berkurban
Oleh Abd. Halim
Mubary
MAKNA berkurban merupakan
implementasi seseorang terhadap sesuatu yang disayanginya. Berkurban juga
sering diedentikkan dengan sebuah perasaan kasih sayang terhadap orang yang
kita cintai. Apakah itu anak terhadap orang tua, orang tua pada sang anak,
pemimpin kepada rakyatnya, atau bisa juga cinta seseorang terhadap lawan jenis.
Atau bahkan rasa cinta kita terhadap Tanah Air, sehingga kita bisa merasakan
nikmat kemerdekaan.
Hari Raya
kurban, atau Idul Adha kali ini jatuhnya hanya
berselang kurang dari sepekan dari HUT KE-73 Kemerdekaan RI, sehingga masih
menyiratkan makna dan momentum terhadap pengorbanan para pahlawan bangsa kita
dalam merebut kemerdekaan yang sekarang sedang kita cicipi hasilnya. Seandainya
para pendahulu kita dulunnya tidak punya perasaan berkurban (baca: berkorban),
rasanya hingga saat ini pun kita masih hidup di bawah belenggu penjajahan.
Namun karena sikap dalam berkurban yang diperlihatkan oleh para pejuang kita
tempo doeloe, Belanda dan Jepang berhasil diusir dari negeri tercinta ini.
Mungkin jika
para pahlawan bangsa Indonesia masih hidup pada hari ini, mereka mungkin akan
menampik disebut sebagai pahlawan bangsa. Karena tujuan dari kemerdekaan yang
harus mengorbankan nyawa dan harta benda, bukan untuk dilabelkan menjadi
pahlawan. Sama halnya ketika orang tua kita dulu menanam kelapa, mereka tidak
berpikir jika buahnya akan dimakan untuk dirinya sendiri, akan tetapi kelapa
yang ditanamnya itu, hasilnya nanti diperuntukkan bagi anak dan cucu-cucunya
kelak.
Esensi
berkurban
Setelah lama
tak dikarunia seorang anak pun, akhirnya Nabi Ibrahim as, dapat seorang anak
dari perkawinannya dengan Siti Hajar. Anak semata wayang itu kemudian besar
dengan penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya. Baik Ibrahim dan Siti Hajar
begitu mecintai Ismail. Namun, sebesar apa pun kecintaan mereka terhadap
Ismail, akhirnya Nabi Ibrahim as sebagai seorang ayah, harus patuh dan tunduk
atas perintah Allah Swt, manakala Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk
menyembelih Ismail sebagai kurban.
Sehingga
terjadilah dialog yang begitu menggetarkan hati antara sang ayah dan anak.
“Ananda harus dikurbankan, nak! Ini perintah Allah!” cetus Nabi Ibrahim dengan
suara serak bergetar. “Bagaimana pendapat ananda?” Ismail sambil tersenyum
menjawab yakin dan mantap, “Jika itu semua atas perintah Allah, saya ikhlas
menerima pengorbanan ini, Ayahanda. Lakukanlah tanpa keraguan Ayahanda!”
Itulah
kira-kira dialog dua manusia terpilih, yang berani mengorbankan sesuatu yang
paling dicintainya tersebab perintah Allah Swt. Namun bagi sebagian orang, yang
namanya pengorbanan tentu harus dilalui dengan perasaan berat dan galau. Karena
tidak mudah untuk mengorbankan sesuatu yang kita sayangi dan cintai dengan
begitu saja. Apalagi dengan begitu banyaknya godaan dan rintangan yang harus
kita hadapi.
Namun tidak
demikian dengan Nabi Ibrahim dan Ismail. Tidak ada yang sia-sia jika
pengorbanan itu dijalankan dengan tulus dan ikhlas, serta tanpa pamrih. Sebab
ketaatan dan kepatuhan terhadap perintah Allah Swt akan bisa mengalahkan godaan
apa saja. Jadi sebelum bersedia berkorban, kita harus terlebih dulu berani
mencintai dan menyayangi terhadap siapa yang memerintahkan kita untuk
berkorban. Sebab dengan begitu, barulah kita berani berkorban apa saja.
Lihatlah
keteguhan Ibrahim, Ismail, dan Siti hajar dalam menghadapi godaan setan dan
iblis dengan segenap kemampuannya. Walaupun setan telah melancarkan semua jurus
rayuannya agar Ismail jangan bersedia disembelih oleh ayahnya, namun Ismail
tetap bergeming. Kecewa dengan keteguhan hati Ismail, setan lalu memutar haluan
dan mendekati Siti Hajar. Namun lagi-lagi penggoda manusia itu harus menelan
kekecewaannya karena Bunda Ismali juga percaya pada suami dan anaknya.
Sehingga
dengan kekuasaan Allah yang Maha Tahu isi hati ketiga hamba-Nya itu, akhirnya
Allah memerintahkan malaikat untuk mengantikan pengorbanan Ismail dengan seekor
kibas (kambing besar). Kelak di kemudian hari, perintah Allah atas Ibrahim ini
menjadi syariat dalam Islam yang kita kenal dengan Hari Raya Kurban (Idul
Adha). Jika Ismail saja yang merupakan anak semata wayang Ibrahim berani
dikorbankan di jalan Allah, mengapa pula kita hari ini masih ragu dan bimbang
untuk mengorbankan sedikit saja harta kita di jalan Allah?
Lihatlah,
untuk sekadar mengorbankan seekor hewan saja terkadang kita tidak mampu
melakukannya. Seberapa besar pengorbanan yang berani kita lakukan untuk
menyahuti perintah Allah? Ketika pasar-pasar hewan ramai pengunjung seiring
mendekati Hari Raya Kurban, sebagian dari kita malah masih menawar-nawar harga
serendah mungkin kepada pedagang hewan, asalkan bisa melaksanakan kurban dengan
seirit mungkin. Atau ada yang mendongkol setengah kesal, lantaran panitia
kurban di kampung meminta kita yang diketahui mampu, untuk namanya dicantumkan
dalam daftar pemberi kurban. Dan jika pun bersedia menjadi “donatur” namun
masih juga menuntut ini-itu pada panitia kurban dan warga kampung misalnya,
“Saya akan berkurban, tapi kalian nanti harus mau bantu saya naik caleg ya!”
Atau merasa
sungkan dan tak enak dengan tetangga yang namanya duluan masuk daftar kurban,
akhirnya dengan berat hati mau juga namanya dicantumkan. Jika ini yang terjadi,
maka jangan berharap ada nilai takwa di dalam berkurban. Apalagi jika harus ada
tawar-menawar dengan panitia kurban. Padahal Allah memerintahkan kita berkurban
sebagai bentuk ketakwaan dan keimanan kita kepada Sang Khalik atas apa yang
telah kita peroleh. Kita sering salah dalam mengartikan makna berkurban.
Sehingga apa yang kita kurbankan itu terkadang hanya menjadi semacam pelepasan
ketidakenakan kita terhadap panitia kurban dan warga yang menganggap kita
sebagai orang yang mampu. Namun di balik itu, apakah kita mengira bahwa daging
ternak itu yang “dituntut” Allah sebagai bukti kecintaan kita terhadap
perintah-Nya?
Jawabannya,
tentu, bukan sama sekali. Sebab, bukan daging dan darah hewan kurban itu yang
mencapai Allah Swt, melainkan ketakwaan dan pengorbanan yang tulus dan ikhlas
dari seorang hamba, sebagaimana firman-Nya, “Daging (hewan kurban) dan darahnya
itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya
adalah ketakwaan kamu.” (QS. al-Hajj: 22).
Asbabun nuzul
ayat ini diturunkan Allah berkenaan dengan orang-orang jahiliah yang melumuri
Kakbah dengan daging dan darah unta. Sehingga para sahabat pun berkata, “Kami
lebih berhak untuk melumuri Kakbah.” (HR. Ibnu Abi Hatim). Pengorbanan tidak
hanya menyembelih kurban, namun pengorbanan merupakan bagian dari kecintaan dan
kepatuhan kita kepada perintah Allah Swt semata. Sehingga dengan pengorbanan
tersebut, kita bisa mengukur diri sendiri tentang sejauh mana kita dapat
melangkah atas semua perintah Allah, meskipun itu hanya untuk berkurban seekor
ternak yang dagingnya kita relakan untuk orang-orang papa dan tak berpunya.
Kerelaan
berkurban
Dilihat dari
historis dalam berkurban, maka kurban merupakan syariat Islam yang telah
disyariatkan sejak manusia diutus ke muka bumi. Allah Swt berfirman,
“Ceritekanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut
yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain
(Qabil). Ia berkata (Qabil): Aku pasti membunuhmu. Berkata Habil: Sesungguhnya
Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Maidah:
27).
Kita bisa
saja mengaku cinta dan sayang kepada seorang pujaan hati. Atau rela
mengorbankan apa saja untuk anak dan istri. Demikian pula kita sering mendengar
kalimat, “Apa pun akan kukorbankan asalkan aku bisa memperolehnya.” Kalimat
sarkastis ini hanya terasa ringan di mulut, namun berat dalam pelaksanaannya.
Ucapan dan tindakan tanpa kesediaan kita untuk berani berkorban untuknya, sama
saja dengan sebuah kebohongan.
Bahkan,
sebagian ada yang berani bersumpah demi ini dan itu dengan berapi-api, namun
pada kenyataannya kita suka menawar-nawar di dalam pengorbanan kita untuk hasil
yang sepadan atau malah berbalut balas budi dari orang yang kita tolong untuk
berkurban tadi. Atau kita kenal dengan sebutan pengorbanan “kompensasi”. Jika
pengorbanan itu ada untungnya, atau paling tidak balik modal, baru kita
bersedia berkorban demi sesuatu. Sebab yang diperlukan di sana adalah agar
lebih dihargai dan dikenal orang, sehingga memperoleh popularitas. Jika sudah
populer, maka akan memuluskan jalan seseorang dalam meraih impiannya di zaman
melenial ini.
Jika
berkorban seperti ini yang terjadi, maka kita akan menjadi orang-orang yang
hanya mengedepankan sikap aji mumpung, dibandingkan keinginanan untuk meraih
nilai ketakwaan dari Allah. Seseorang yang mengaku mencintai dan mengabdi
kepada Allah, seperti halnya Nabi Ibrahim as dan Ismali as, maka apa pun yang
paling berharga dalam hidupnya, harus berani dikorbankan tanpa adanya pamrih di
baliknya.
Akhirnya,
Hari Raya Kurban atau Idul Adha kali
ini setidaknya bisa menjadi pemicu dalam semangat kehidupan kita untuk berani
berkurban atas perintah Allah, bukan atas kehendak sendiri atau orang lain.
Sebab makna berkurban yang sesungguhnya adalah berani berkurban karena Allah,
yang hasilnya akan kita petik di akhirat kelak.
Wallahu a’lam bhissawab.
https://aceh.tribunnews.com/2018/08/24/makna-berkurban#targetText=MAKNA%20berkurban%20merupakan%20implementasi%20seseorang%20terhadap%20sesuatu%20yang%20disayanginya
Komentar
Posting Komentar