Makna Kemerdekaan
Makna Kemerdekaan
Manusia sebagai makhluk
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah dianugerahi keistimewaan tersendiri yang tidak
diperoleh oleh makhluk-makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” (QS. Al-Isra’ : 70). Selain ilmu dan akal, di antara bentuk
kemuliaan dan kelebihan manusia atas makhluk-makhluk lain, menurut sebagian
para mufassirin (ahli tafsir), adalah kecenderungannya untuk terbebas dari
penindasan dan penjajahan (Lihat Tafsir Bahrul Muhith 6/59).
Dengan kata lain,
kemerdekaan merupakan kunci kemuliaan manusia. Manusia tak akan lebih utama
dari makhluk-makhluk lain dan menjadi mulia sebelum ia terbebas dari
penjajahan. Lalu pertanyaannya,
kemerdekaan seperti apa yang akan menjadikannya mulia?
Dalam sebuah atsar
(riwayat) disebutkan, ketika Rib’i bin Amir radhiyallahu anhu, salah seorang
utusan pasukan Islam dalam perang Qadishiyah ditanya tentang perihal
kedatangannya oleh Rustum, panglima pasukan Persia, ia menjawab, “Allah
mengutus kami (Rasul) untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia
kepada manusia menuju penghambaan manusia kepada Rabb manusia, dari sempitnya
kehidupan dunia kepada kelapangannya, dari ketidakadilan agama-agama yang ada
kepada keadilan Islam.” (Lihat Al-Jihad Sabiluna hal. 119).
Dari atsar di atas, nampak
bahwa Islam, ternyata, memandang kemerdekaan bukan dari satu sisi saja,
melainkan dari semua sisi, baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah, yakni
kemerdekaan atau bebas dari penghambaan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
menuju tauhid untuk ranah batiniyah dan kemerdekaan dari kesempitan dunia dan
ketidakadilan menuju kelapangan dan keadilan Islam dalam ranah lahiriyah.
Sehingga bisa dikatakan bahwa makna kemerdekaan dari ajaran Islam adalah
kemerdekaan yang sempurna bagi umat manusia. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
dalam Syarah Al-Aqidah Al-Washithiyyah berkata, “Ubudiyyah (penghambaan) kepada
Allah adalah kemerdekaan yang hakiki, (sehingga) orang yang tidak menyembah
kepada Allah semata, maka dia adalah hamba (budak) bagi selain Allah”. Jika ia
masih menjadi budak, tentu saja belum pantas disebut merdeka.
Kemerdekaan yang asasi
adalah ketika manusia berada dalam fitrahnya, yaitu Islam dan tauhid. Setiap
manusia yang terlahir di muka bumi, sejatinya adalah manusia merdeka. Bagaimana
bisa? Hal ini karena sejatinya tak seorang pun yang terlahir ke dunia ini
kecuali telah bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabbnya dan Islam
adalah agamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS.
Al-A’raf : 172).
Ketika manusia tidak berada
di atas fitrah tersebut, sekali lagi, sesungguhnya ia adalah manusia yang belum
merdeka dan masih terjajah. Kemerdekaan manusia yang asasi ini kemudian bisa
terampas dari lingkungan dimana manusia itu tumbuh. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, selanjutnya
orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nashrani, atau majusi” (HR.
Muslim).
Jadi, setiap muslim hendaknya memaknai kemerdekaan itu sebagai
pembebasan dari segala bentuk kesyirikan yang dapat menyimpangkannya dari jalan
fitrahnya. Begitu pula, kemerdekaan oleh seorang muslim adalah terbebasnya
seorang hamba dari segala sistem kehidupan yang tidak bersumber dari aturan
Islam dan sunnah NabiNya sebagai wahyu Ilahi. Olehnya, ketika seorang hamba
senantiasa komitmen akan hal ini, maka sejatinya ia adalah manusia merdeka di
sepanjang hidupnya. Wallahu a’lam.
Republik Indonesia tengah
merayakan Hari Kemerdekaannya yang ke-74. Setiap orang mempunyai pemaknaan yang
berbeda-beda atas kemerdekaan yang telah diraih para founding fathers. Salah satunya
adalah memaknai kemerdekaan sebagai warisan yang harus diisi dengan pembangunan
dan karya-karya positif.
Orang-orang Indonesia saat ini,
menurut dia, punya hutang kepada para pendiri bangsa. “Kemerdekaan menurut
founding fathers itu hanya sekadar pintu gerbang. Harapan-harapannya harus kita
wujudkan. Karena di pintu gerbang itu, taman sarinya Indonesia merdeka yang
adil, makmur, dan berkeadilan sosial.
Itu yang harus kita wujudkan, mewujudkan
semua cita-cita luhur itu adalah tugas seluruh elemen bangsa. Meski kemerdekaan
republik ini sudah lama diraih, cita-cita dari kemerdekaan masih harus terus
diperjuangkan.
Anak muda bisa
berkontribusi membangun bangsa dengan cara paling sederhana. Misalnya, lewat
media sosial. Dengan mengabarkan berita-berita baik lewat platform tersebut. Anak-anak
muda juga harus menjadi contoh baik untuk orang lain lewat cara sederhana,
keren, dan dari sesuatu yang disukai. Kekurangan yang ada di negeri ini bukan
untuk disesali, tapi disyukuri. Dengan adanya kekurangan itu, warga negara bisa
bersumbangsi untuk memperbaiki. Dengan begitu, predikat sebagai pewaris
Indonesia bisa diemban oleh warga negara.
Komentar
Posting Komentar